Jumat, 11 Oktober 2013

Itulah manusiawinya. Merdeka secara naluri. Berjalan bahkan berlari kapan dan dimana saja kita mau. Hingga akhirnya tiba pada satu titik yang seolah menjadi “penjara” bagi dunia kita yang terlalu luas. Setidaknya itu yang orang di sekelilingmu berikan tanggapan. “hidupmu freak!” “terlalu kaku!” “kuno” atau mungkin “jumud”

Engkau terpaksa mengorbankan dirimu. Siksaan-siksaan batin lewat ke-aku-an yang terbelenggu oleh “bagaimana memang seharusnya diri”. Engkau ingin berteriak, rasanya semakin berat.

Saat tanggungan bersama menumpuk. Lagi-lagi yang lain satu per satu menepi. Tingggallah engkau beberapa saja. Terus berjalan, sedikit melambat sepertinya. Engkau tahan amarahmu, menyesakkan perasaanmu.

Lagi-lagi itulah konsekuensi. Itulah takdir kepahlawanan. Di saat semua berjalan-berlari terus mengejar haknya. Maka sebagian orang harus rela menanggung kewajibannya. Banyak yang meminta cahaya, tapi hanya sedikit yang ingin menjadi lampu.

Kelelahan, kejenuhan, berat menanggung beban. Tidak perlu dipoles karena memang begitulah adanya. Luka pada tubuh tidak perlu ditanyakan karena ia pasti perih.

Lantas ke mana ini semua berujung? Cukuplah janji-Nya yang menenangkan, cukuplah ketaatan yang menentramkan. Engkau yakini ini untuk-Nya, berbahagialah atasnya. Setiap keluh kesah himpitan sesak “siksaan” inilah ujian cinta yang sebenarnya. Seperti itulah Bilal bin Rabah, Mus’ab bin Umair, Abu Bakar, dan Umar bin Abdul Aziz.

“Jika Allah menginginkan kebaikan untuk seorang hamba maka dia akan mempekerjakan/menggunakannya”, beliau ditanya, “Bagaimana Allah akan mempekerjakannya, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”, beliau menjawab: “Allah akan memberinya petunjuk untuk beramal shalih sebelum meninggal”.

Karenanya. Cintailah jalanmu karena Allah sedang menuntunmu berjalan kepada-Nya

#dakwatuna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar